PENANGANAN KUSTA; ACT NOW, ACT TOGETHER – dr Eka Komarasari, Sp.DV, FINSDV
Kusta atau lepra adalah penyakit kronik disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang berbagai organ kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan bersama dengan frambusia, filariasis, dan schistosomiasis. Jumlah pasien kusta di Indonesia termasuk 3 besar di dunia walaupun Indonesia sudah mencapai status eliminasi kusta sejak tahun 2000 dengan angka prevalensi kusta tingkat nasional sebesar 0.9 per 10.000 penduduk. Tetapi sampai saat ini angka penemuan kasus baru masih berkisar 16.000-18.000 pertahun serta masih tingginya jumlah penderita kusta baru dengan disabilitas tingkat 2 serta proporsi kasus kusta baru anak masih di atas 10 %.
Diagnosis dini, pengobatan yang adekuat, serta pencegahan kecacatan adalah penanganan utama kusta sehingga kemampuan untuk mengenali gejala awal kusta seyogyanya dimiliki oleh tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan primer maupun pelayanan kesehatan rujukan. Begitupun dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang kusta dan perilaku hidup bersih dan sehat yang akan berdampak pada pemutusan penularaan penyakit kusta.
Gejala khas kusta adalah bercak putih atau kemerahan di kulit yang disertai dengan mati rasa atau anestesi. Gejala yang lain yaitu kering pada kulit, rontoknya bulu pada alis, kelopak mata tidak menutup rapat, gangguan gerak pada tangan atau kaki, mati rasa di telapak tangan atau kaki, kerusakan tulang rawan hidung, gejala kulit lain berupa nodul kemerahan, serta luka kronik di tangan dan kaki.
Diagnosis kusta sudah bisa ditegakkan bila ditemukan gejala yang khas. Pemeriksaan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit dan biopsi, pemeriksaan serologi dan PCR dapat membantu menegakan diagnosis kusta.
Kusta diobati dengan multi drug therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO. Pengobatan standar bisa didapat di puskesmas. Lama pengobatan tergantung tipe kustanya, bila multibasiler dengan pengobatan 12 blister sedangkan pausi basiler 6 blister. Pada kondisi tertentu, misalnya alergi berat MDT, DILI ec rifampisin dan anemia hemolitik ec dapson, pasien dapat diberikan pengobatan alternatif.
Salah satu hambatan dalam penanganan kusta adalah adanya stigma di masyarakat, yang menyebabkan pasien terisolasi dan mengalami diskriminasi. Padahal kondisi tersebut yang membuat tidak adekuatnya pengobatan sehingga masih ada resiko penularan. Diskriminasi juga menyebabkan turunnya kualitas hidup pasien kusta dan keluarga.
Penanganan kusta harus dikerjakan bersama sama; tenaga kesehatan, masyarakat, dan pemegang kebijakan serta dilaksanakan saat ini. Act now, act together, mewujudkan Indonesia bebas penyakit terabaikan.
Jakarta, 24 Januari 2023
dr Eka Komarasari, Sp.DV, FINSDV